Tau ji ki Rock In Celebes (RIC), toh? Mereka baru saja merayakan dan menyelenggarakan edisi ke-14 festival musik tersebut di Parking Lot Trans Studio Makassar, pada 28-29 Oktober 2023 lalu. Semakin gammara’ karena butuh yang namanya konsistensi dan melewati banyak tantangan untuk menjaga sebuah acara musik bertahan selama satu dekade.
Kalau masih ingat ki, RIC ini dulunya seperti ajang pestanya anak-anak metal. Pokoknya headbang sampai malam. Tapi sekarang, ajang ini menjadi barometer musik di Makassar. Nda ada mi itu ber-metal ria saja. Tapi sekarang ada mi juga musik lain seperti folk. Kemarin saat Soegi Bornean, di saat bersamaan band cadas Darksovls (dibaca : Darksouls) menggempur kuping pengunjung.
Bagaimana mi itu perkembangannya selama satu dekade dari para pencetusnya? Kali ini Makaraeng mewawancarai Andi Muhammad Ikhlas, co-founder RIC. Pria yang akrab disapa Iko ini menjelaskan perjalanan panjang festival ini, dan melihat bagaimana band-band Makassar berusaha menunjukkan eksistensinya.
Kurasi Band pada RIC 2010 : Sebuah Awal yang Sederhana
Edisi pertama RIC pada tahun 2010 memulai proses kurasi band-band Makassar dengan pendekatan yang lebih sederhana. Belum serumit (tapi tetap menyenangkan) seperti sekarang. Tapi ada ji alasan di balik itu.
“Karena waktu itu kita perhatikan beberapa band yang punya rekaman pastinya. Karena kita sudah melakukan sesi kurasi sejak 2003 sebenarnya, dengan adanya program Madama Indie, ya,” katanya saat berbicara dengan Makaraeng pada Sabtu, 11 November 2023.
“Jadi di RIC 2010 kita memang berpatokan di situ, beberapa band yang istilahnya nge-hits di zaman itu, dan pastinya dari pantauan teman-teman kita,” sambungnya sambil mengingat-ingat edisi pertama RIC yang mengundang raksasa black metal (sangarnya mi) asal Swedia yakni Marduk.
Meskipun tidak seketat saat ini, pendekatan ini mencerminkan sikap RIC yang ingin lebih intens dalam mengenali bakat di skena musik Makassar. Bahkan semangat tersebut masih dijaga lewat rangkaian Satellite Show sekaligus Live Audition yang mereka selalu adakan pada beberapa tahun terakhir.
Proses Audisi dan Cara Memupus Label “Band Lokal”
Proses audisi untuk band-band lokal tidak hanya terbatas pada Makassar dan sekitarnya. Mulai dari awal 2000-an, Kak Iko dan kawan-kawannya telah memulai program-program kurasi dengan standar berupa karya yang sudah tersebar melalui berbagai kanal media. Tapi belakangan, syaratnya kembali bertambah.
“Untuk sekarang malah kita bisa lihat keaktifan band-band teman-teman dari sosial media. Itu jadi salah satu tolak ukur. Dari pemanfaatan teknologi mungkin jumlah airplay di beberapa platform seperti Spotify,” jelasnya.
“Dulu tidak ada yang seperti itu, sangat manual. Lebih banyak bergerilya dan mencari-cari langsung. Tapi kita percaya waktu itu bahwa apa yang kita mulai itu bisa memunculkan bakat-bakat yang bagus, dan istilah ‘lokal’ itu bisa kita ‘cut’ pada waktunya,” imbuh Kak Iko.
Dalam beberapa kesempatan, Kak Iko dan founder RIC yakni Ardinansyah Siji percaya bahwa pelabelan “lokal” kurang memberi rasa respek. Keduanya dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa kualitas talenta Makassar dan seantero Sulawesi tak kalah dengan para band-band undangan. Pokoknya, nda kalah ji sama anak-anak yang lain.
Sebagai co-founder, Iko memang harus mengamati perkembangan musik di Makassar. Menurutnya, meskipun mengalami pasang surut, ada perkembangan luar biasa yang bisa dirasakan oleh para penggeraknya. Contohnya kemudahan untuk memperkenalkan karya dan publikasinya.
Tapi, tantangan yang dihadapi adalah pengelolaan band dan memandang perkembangan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan eksposur. Iko percaya bahwa semua band memiliki potensi yang sama, dan penting bagi mereka untuk memanfaatkan teknologi dan persiapan dengan bijak.
“Tinggal bagaimana cara manage band tersebut dan cara memandang perkembangan teknologi menjadi teman dan dimanfaatkan dengan segala macam lika-likunya, segala macam persiapan-persiapannya, tools-tools, itu seharusnya kita pandang sebagai upaya untuk terus mendongkrak naik band-band Makassar untuk bisa lebih baik lagi,” jelasnya.
Kapal Udara dan TOD : Karakter dan Strategi yang Berhasil
Band-band seperti Kapal Udara dan Theory of Discoustic (TOD) adalah sedikit dari segelintir band yang sudah dikenal di Makassar. Penampilan mereka selalu memikat penonton, dan mengundang massa untuk berkerumun.
Menurut Iko, kesuksesan mereka tidak hanya berasal dari karakter musik yang unik, tetapi juga dari keberhasilan tim dan strategi pemasaran yang baik. Fanbase yang kuat dan pemanfaatan jaringan adalah kunci kesuksesan mereka. Ibaratnya, testimoni tentang Kapal Udara dan TOD sudah melampaui lautan, tak lagi di dalam Makassar saja.
“Mereka juga ada di titik ini karena punya jaringan dan punya strategi untuk memperluas hal itu,” ujar Kak Iko saat ditanya tentang Kapal Udara dan TOD yang semakin melesat.
“Jadi band-band seperti mereka pada saat perform juga punya fanbase sendiri, karena mereka sadar bahwa fanbase adalah corong bagi mereka untuk merepresentasikan karya mereka ke dunia luar,” sambungya.
“Jadi di titik tertentu, band seperti Kapal Udara dan TOD itu punya marketing sendiri pada teman-teman yang menyukai, setiap manggung mereka ada di situ, dan bercerita keluar bahwa ada band di Makassar yang punya kelas dan tradisi bagus,” tutur Kak Iko.
Meskipun penampilan band-band Makassar seperti Kapal Udara dan TOD selalu ramai, tantangan yang tersisa adalah ketersediaan panggung dan kesempatan. Iko berharap akan ada lebih banyak panggung untuk band-band berbakat Makassar, dan panggung tersebut tidak untuk sekadar pamer skill saja.
“Dari sisi jumlah (bakat) dan lain-lain, kita tidak kekurangan sebenarnya. Yang kurang dari kita adalah panggung dan kesempatan untuk menunjukkan siapa mereka sebenarnya. RIC adalah salah satu ajang saja. Saya berharap dari banyaknya talenta-talenta yang berbakat, makin banyak panggung yang tersedia untuk mereka,” kata Kak Iko.
“Panggungnya bukan lomba, tapi panggung sebagai ajang implementasi dan aktualisasi bandnya. Jadi band pada saat manggung itu bisa mempresentasikan mereka dan musikalitas mereka kepada masyarakat,” imbuhnya.
Mewujudkan Mimpi Band Lokal di Panggung Utama
Makaraeng kepikiran pertanyaan baru. Apakah pengunjung RIC kelak bisa menyaksikan band Makassar tampil di jam utama panggung utama? Kak Iko punya jawaban yang menarik, bahkan sedikit membongkar isi dapur produksi.
Ia menjelaskan bahwa RIC selalu menyelipkan band-band Makassar sebagai headliner di setiap edisi. Mereka mengidentifikasi jam prime time dimulai pada pukul 4 sore. Pada pukul 5 sore, antusiasme penonton sedikit menurun, dan baru kembali menanjak pada pukul 7 malam.
“Karena kita itu dalam setiap gelaran RIC itu selalu berupaya menjaga emosi penonton seperti yang lakukan pada beberapa edisi terakhir. Contoh di edisi ke-14 ini, kita selalu menjaga mood dari teman-teman band Makassar selalu juga kami sisipkan menempati jam utama,” jelas Kak Iko.
Namun, jika ternyata depan panggung masih belum ramai, ada dua kemungkinan yakni penonton yang belum semuanya tiba atau kapasitas band yang tampil. Ini diakui Kak Iko masih menjadi dilema dan fokus perhatian RIC, terutama dalam mengelola sebuah festival berskala nasional.
“Jadi sangat naif jika anggapan kita bahwa prime time itu untuk band nasional atau band-band undangan. Kita tidak menjadikan itu sebagai patokan, tapi kita berusaha untuk mengelola show. Kita punya tim show management sendiri, yang mengelola itu dengan berbagai macam keterbatasan, tapi tetap berupaya menyajikan semua yang tampil di RIC itu punya kapasitas di jam tertentu,” terang Kak Iko.
Singkatnya, ini bergantung pada band itu sendiri, apakah mereka sudah pantas untuk tampil pada jam-jam tertentu. Kak Iko paham bahwa ini tak cuma menjadi pekerjaan rumah untuk pihak penyelenggara, tapi juga bagaimana band-band lokal ini bekerja keras sehingga mampu mencapai kapasitas yang diharapkan.
Lebih jauh, Kak Iko menyebut bahwa ia dan pihak penyelenggara RIC masih “mencari rumus” agar semua yang tampil di RIC di jam berapapun mengundang antusiasme yang seimbang. Langkah menuju itu sudah ada, dan ia yakin bisa digapai dengan pelan tapi pasti.
“Kami di RIC memandang semua jam perform sebagai prime time dan jam utama, jadi silakan dipilih. Di RIC kita tidak mengorbankan band apapun untuk tampil di jam berapapun. Pokoknya saat panggung utama di buka dari jam 4 sore sampai jam 11 malam, itu adalah jam prime time,” tutup Kak Iko.
Melalui pandangan Kak Iko, kita dapat melihat betapa pentingnya mendukung perkembangan musik lokal, memberikan panggung yang lebih luas, dan memandang setiap band memiliki potensi untuk berkembang. RIC bukan hanya festival musik, tapi adalah episode menarik dari perjalanan musikalitas dan identitas kreativitas para musisi Makassar. Jadi paham mi ki, toh?
Penulis: Ayat Alsair